Ompu Sarma Sibarani, Perempuan Batak Pejuang Tutup Toba Pulp Lestari

Toba - Dia sudah uzur. Namun sejak 30 tahun lalu hingga saat ini terus berjuang bersama warga lainnya menuntut pemerintah untuk menutup PT Toba Pulp Lestari (TPL). Penjara pun tak menyurutkan semangatnya.
Namanya Ompu Sarma boru Sibarani. Dia salah seorang di antara pejuang dari kalangan perempuan atau Inanta Soripada Batak dari Huta Sugapa, Kabupaten Toba, Sumatra Utara.
Kisah perempuan yang dijuluki 'Pejuang Tanah Adat' ini dituliskan seorang aktivis lingkungan dari Jendela Toba Mangaliat Simarmata di akun Facebook dan dibagi ke sejumlah grup media sosial yang dia ikuti.
"Inang ini dengan 9 orang Ibu-ibu Sugapa lainnya sampai diadukan oleh pihak Indorayon (TPL) ke kepolisian karena mereka mencabuti pohon eukaliptus yang ditanami oleh Indorayon di tanah adat mereka tanpa sepengetahuan mereka sebagai pemilik tanah adat," tulis Mangaliat dilihat di Facebook, Rabu, 30 Juni 2021.
Sehubungan dengan tindakan mereka itu, tulis Mangaliat, akhirnya Ibu-ibu sebanyak 10 orang dijatuhi hukuman oleh Pengadilan Negeri Balige masing-masing hukuman 6 bulan percobaan.
"Saya pengacara mereka pada waktu itu tanpa honor dan saya belum punya lembaga bantuan hukum pada waktu itu," katanya mengisahkan.
Apa yang bisa dipetik pembelajaran dari perjuangan mereka ini. Menurut Mangaliat, semangat mereka luar biasa sebagai Ibu-ibu (sebagian di antara mereka sudah ompung-ompung (nenek-nenek) untuk mempertahankan tanah adat mereka demi kehidupan anak dan cucunya.
Yang bisa saya ikuti hingga saat ini mereka masih setia sampai akhir berjuang untuk Tutup TPL secara permanen
"Mereka sangat berani, punya mental yang teguh atas kebenaran yang mereka yakini untuk mempertahankan hak mereka atas tanah adatnya. Mereka tidak pernah takut dengan siapapun aparatus negara maupun dengan pihak TPL pun," tukasnya.
Dituturkannya pula, selama pemeriksaan di kepolisian, kejaksaan hingga ke pengadilan, (jarak Desa Sugapa dengan Pengadilan Negeri Balige kira-kira 30 Km ) mereka tidak gentar dan tidak mengenal lelah.
Ditemani keluarga mereka dengan membawa nasi bontot, (kehidupan ekonomi sehari-hari mereka pas-pasan) karena memakan waktu seharian setiap pemanggilan kepada mereka.
Baca juga:
Bupati Toba Poltak Sitorus Rekomendasi Penutupan PT TPL?
Salah seorang dari Ibu-ibu ini setiap pemeriksaan di kepolisian dan selama menghadiri persidangan harus jalan kaki karena tidak bisa naik sepeda, atau naik sepeda motor, atau bus atau mobil pribadi sekalipun karena takut naik kendaraan dan akan pening dan muntah-muntah.
"Pada waktu itu hukum tidak berpihak kepada mereka, padahal dari aspek hukum apapun, mereka tidaklah patut dihukum karena mempertahankan hak atas tanah adatnya," ujarnya.
Mangaliat meneruskan, pasca mereka dijatuhi hukuman, setiap kali mereka mendengar ada aksi bersama memperjuangkan tutup TPL, mereka selalu ikut, paling tidak ada perwakilan.
"Yang bisa saya ikuti hingga saat ini mereka masih setia sampai akhir berjuang untuk Tutup TPL secara permanen," ungkapnya.
Dia menyebut sudah belasan warga yang berjuang masuk bui. 30 tahun sudah perjuangan untuk Tutup TPL.
"Pertanyaannya adalah bagaimana kita melanjutkan perjuangan mereka yang mulia ini, mari kita refleksikan bersama," pungkasnya.[]
Berita Terbaru
- GAMKI Peringati Dies Natalis Ke-60, Kapolri, Walikota Medan, Hingga Ketum KNPI Sampaikan Ucapan Selamat
- Pemberantasan Mafia Tanah, Gertak: Kami Menunggu Aksi Mahfud MD
- Kementerian Investasi Promosikan Papua Lewat Indonesia Night di Swiss
- Komisi III DPR RI Menentang Pidana Mati
- Pencabutan PPKM, Puan: Semua Harus Paham Bahwa Covid-19 Masih Ada di Tengah-tengah Kita